"Cuti melahirkanmu habis kapan, Nak?", tanya seorang Ayah kepada anak perempuannya.
"Aku ngga cuti Ayah. Aku udah resign, kepengen ngurus anak sendiri. Belum ada orang yang bisa dipercaya buat ngurus anak", kata si anak perempuan tulus.
"Kamu ngga sayang S2 kamu? Anak temen Ayah yang sepantaran kamu dan punya anak juga masih kerja kan?", tanpa sengaja Sang Ayah memasukkan nada menuntut dalam pertanyaannya.
"Udah beda prioritas, Yah", jawab si anak perempuan pendek tidak ingin berdebat. Keputusannya sudah final, setidaknya untuk sekarang.
Ayah dan anak perempuannya bergulat dengan argumen masing-masing di dalam kepala.
▪▪▪▪▪
Setiap dari perempuan yang terlahir sebagai penerus Hawa, mengemban dualisme peran yang rumit.
Perempuan, secara biologis konservatif, dibekali tugas untuk melanggengkan kehidupan, merawat generasi yang terbarukan. Perempuan juga, dengan pengetahuan reformis dan tuntutan finansial, dibekali kemampuan untuk berdikari setara dengan suami.
Seakan tidak cukup alot perundingan di dalam kepala perempuan tentang di sisi mana dia harus berdiri, konservatif atau reformis, mulut-mulut tak tau diri di sekitarnya sudah mulai menghakimi.
▪▪▪▪▪
Adalah beliau, Ainun Habibie yang menjadi ikon betapa "pulang" ke rumah demi keluarga bukanlah sesuatu yang memalukan atau beberapa derajat terpinggirkan.
Tidak masalah seberapa tinggi pendidikan seorang perempuan, atau seberapa fantastis potensi nominal rupiah yang mampu dia hasilkan. Keberadaan ragawinya di rumah akan selalu dirindukan.
Dunia memerlukan peran perempuan di luar rumah. Tapi pun dunia sendiri, dengan segala akselerasi teknologi, tidak bisa lebih jauh berbohong bahwa "pulangnya" seorang Ibu ke rumah adalah demi menjaga keluarga dan anak mereka.
Ini bukan soal mana yang lebih baik, ibu rumah tangga ataukah ibu pekerja.
Ini soal seikhlas apa kita membesarkan anak-anak perempuan kita.
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, dengan gelar strata satu dua tiga, memilih membaktikan kebermanfaatan hidup untuk keluarga barunya, mungkinkah kita tidak melihat ke belakang untuk berapa banyak rupiah terhambur demi pendidikannya?
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, yang mampu menjadi batu loncatan kasta ekonomi, tapi memilih sendiri keterbatasan dan ladang pahalanya, mungkinkah kita tidak mengungkit lagi seberapa tinggi kita menyandarkan harapan agar dia bersinar lebih gemilang daripada kita?
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, yang dibesarkan tanpa cela, namun memilih jatuh bangun mendampingi suami dan menjaga sendiri anak-anak dengan tangannya, mungkinkah kita ikhlas menghargai keputusannya sebagai sesama manusia?
▪▪▪▪▪
Meneladani Ibu Ainun bukan tentang kemunduran atas pencapaian perempuan di luar rumah, bukan tentang menyombongkan diri karena dijamin suami yang berpenghasilan pasti, tapi tentang ikhlas sedikit meredupkan gaya hidup dan menguatkan pasak-pasak keluarga dari dalam.
Jika anak perempuanmu adalah Ainun selanjutnya, karena mereka memilih demikian, cukup kita menerima dan menghargai. Bantu mereka berdaya dari rumah. Tanpa perlu menghakimi dan mengharap pamrih.
Perempuan dan dualisme peran. Di dalam maupun di luar rumah.
Semoga setiap pilihan mereka dilandasi kesadaran penuh, dan urutan prioritas yang tidak keliru.
Semoga setiap perempuan, dikaruniai hal yang sebenar-benarnya mereka butuhkan, tidak melulu soal apa yang mereka inginkan. Mensyukuri apa yang telah mereka miliki, ketimbang kemrungsung mengejar ketuk ritme dunia yang tak pernah berhenti.
Semoga setiap perempuan, menjalankan peran kebermanfaatan mereka di setiap tempat dengan tepat.
Sumber: Nafila Rahmawati
Sumber: Nafila Rahmawati
loading...
EmoticonEmoticon